Minggu, 13 Juli 2014

Flash Fiction: Bougenville



Sumber gambar: Google

Bougenville
Oleh Candra Irawan
Menunggu… Harus berapa lama aku meniti tetasan cahaya matahari di sini? Harus berapa lama embusan angin menghiburku yang terkapar tak berdaya?
Bukankah kau pernah bilang, aku ini Bougenville?
Bukankah kau pernah bilang, kau akan selalu menyiramiku dengan cintamu?
Tapi mengapa kau seolah lenyap terbawa embusan angin yang mengalir entah ke mana? Haruskah kusudahi mimpi-mimpi bersamamu?
Haruskah aku memohon pada angin lalang agar membawamu kembali ke tempat di mana aku selalu menunggumu?
Kembalilah… dalam sunyi senyap rindu ini tetap hanya tercurah untukmu.
***
Galah membaca coretan di kertas usang yang terselip di bangku taman. Matanya yang tadi tampak menyorot tajam kini berubah bening. Buliran air nampak hendak pecah dari kelopaknya yang mulai terlihat memerah, tak kuasa menahan keharuan yang semakin menyesap di dadanya.
                Ia lantas menyadari bahwa dirinya telah meninggalkan sebuah janji pada seorang gadis kecil yang ia panggil Bougenville. Dia mengingat, saat terakhir kali menemuinya saat hendak pergi meninggalkan kota, Bougenville memintanya untuk tetap bertahan. Diingatnya lagi, Gadis kecil dengan rambut berkepang dua dengan baju balon yang selalu mengembang itu, persis seperti kelopak Bunga Bougenville yang selalu menyembunyikan mahkota di dalamnya. Galah masih sangat mengingat. Karena ia tak pernah lupa mengecup pelipis gadis itu, sebelum ia tertidur dalam pangkuan Galah, di taman itu.
                Waktu itu, Galah memang merasa berat saat harus meninggalkan Bougenville, tapi sebetapa pun besar cintanya, ia harus tetap pergi- ini demi masa depan dia dan Bougenville. Tapi gadis itu tetap merengek. Terakhir kali ia melihat, airmata Bougenville pecah dan tak terbendung hingga mengaliri pipinya lalu jatuh menimpuk debu yang tersibak berlarian. Pun akhirnya Galah tetap pergi.
Kini  ribuan sesal berkerumun di pandangannya. Sepucuk surat terselip di tempat dia biasa memangku Bougenville. Mengantarkan kabut-kabut hitam yang seolah turun begitu cepat dan membuat matanya seolah tak punya daya untuk melihat dunia. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya di tanah, tubuhnya  yang kemarin terlihat kekar, tiba-tiba melemas, seolah tak lagi kuat menyangga beban menumpuk di dada.
                Angin mengembus kencang menggoyang-goyangkan rerantingan di taman. Perlahan tapi pasti menghampiri Galah yang sedang dirundung kedukaan. Setangkai Bougenville mendarat dipangkuannya. Airmatanya kali ini tak bisa dibendung lagi.

                                                                                                                       Untuk
                                                                                                UKPM STKIP PGRI Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar