Minggu, 15 Juni 2014

RESENSI: Perang Dimensi dalam Buku Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku? Karya Edi Mulyono




Pohon, kalau masih rindang daunnya, semua orang ingin berteduh di bawahnya. Namun jika sudah meranggas, jangankan berteduh, bahkan semua ingin menebangnya, setidaknya untuk dijadikan sebagai kayu bakar.

            Kalimat bijak di atas mungkin seringkali anda dengar, ketika masih kecil. Kalimat tersebut sangat syarat akan makna kehidupan yang kita jalani. Manusia diibaratkan sebagai sebatang pohon, ketika pohon tersebut masih rindang tentu semua orang akan menikmati suasana duduk di bawahnya, beristirahat. Tetapi, ketika pohon tersebut telah meranggas, kering dan telah kehilangan semua daun yang dimilikinya, dan tak lagi rindang maka hampir dapat kita pastikan bahwa pohon tersebut hanya menunggu waktu untuk ditebang, karena semua orang memandangnya tak lagi berguna. Dan, satu-satunya yang bisa dimanfaatkan darinya hanyalah dijadikan kayu, baik sebagai kayu bangunan maupun hanya sebagai kayu bakar yang gunanya tak sebanding dengan ketika masih menjadi poho rindang. Demikian juga manusia, ketika manusia berada dalam kesuksesan maka sangat mudah baginya untuk menaungi, merindangi banyak orang seperti teman, keluarga, dan orang lain sekali pun. Namun ketika orang tersebut berada dalam kebangkrutan, ke-pailit-an maka jangankan mendekat, bahkan setiap orang ingin pergi menjauh dan tak jarang yang dahulunya adalah teman dekat berubah menjadi seorang penyebar fitnah, yang tak pernah terduga sebelumnya.
            Ulasan di atas hanyalah salah satu dari banyak hal menarik yang coba diungkap oleh Edi Mulyono, pada buku Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku? ini. Penulis yang lahir di Lalangon, Manding, Sumenep, Jawa Timur ini mencoba menampilkan kisah hidup yang dialaminya menggunakan bahasa keseharian yang jujur, dan blak-blak-an membuat kisah-kisah yang dihadirkan dalam buku ini begitu hidup. Penulis yang terkenal dengan penerbit yang dikembangkannya, Diva Press Group, dan atas karyanya Dijual Murah Surga Seisinya (2010) ini memiliki ciri khas dengan menampilkan persoalan hidup yang rumit dan kompleks menggunakan bahasa yang ringan dan penuh dengan guyonan yang menggelitik, membuat saya tidak merasa bosan ketika membaca buku ini. Dan, selalu tertarik untuk membaca kelanjutan ceritanya. Bahkan, saya masih tertawa ketika membaca buku ini, walau hal tersebut saya lakukan ke sekian kalinya.
            Buku Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Ada Untukku? ini adalah karya best seller. Dan telah dicetak ulang sebanyak 12 kali. Hal tersebut tentunya menjadi salah satu keistimewaan buku ini dan membuktikan bahwa minat para pembaca terhadap buku ini sangat tinggi. Buku setebal 214 halaman dengan ukuran yang tidak terlalu besar, membuatnya dapat dengan mudah untuk kita nikmati saat berada di tempat mana pun.
            Karya Edi Mulyono ini dibuka dengan penjelasan tentang siapa sebenarnya aku, kamu dan dia yang coba diungkap oleh penulis dalam buku ini. Setelah membaca pengantar buku ini saya mendapatkan apa yang sebenarnya ingin dijepret oleh Edi Mulyono dalam buku ini, bukan semata-mata berkaitan dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial saja, juga bukan semata-mata manusia sebagai makhluk relijius saja tetapi telah mencakup keduanya.

Siapakah aku?
Siapakah engkau?
Siapakah dia?
            Jawaban umum kita niscaya berpusar pada ungkapan, “Ya, aku manusia, sebagaimana engkau dan dia ….” Then? Kalangan yang mengagungkan dimensi spiritualitas pasti akan melengkapinya dengan idiom-idiom khas ketuhanan atau agama. Kalangan pemuja humanisme pasti akan melengkapinya dengan diksi-diksi kemanusiaan. Kalangan-kalangan materialisme pasti akan melengkapinya dengan slogan-slogan kebendaan, menafikan Tuhan, dan bahkan lebih ekstrem, semesta hati/jiwa.
(Hal 7, paragraf 1)

            Membaca pengantar buku tersebut, saya mendapatkan bahwa di sini, Edi Mulyono mencoba memunculkan berbagai penafsiran dari para pembaca dalam berbagai macam dimensi, mulai dari dimensi spiritualitas yang berhubungan dengan agama, humanisme yang berhubungan dengan urusan kemanusiaan, materialisme dalam sudut kebendaan atau materi hingga dimensi-dimensi yang lainnya.
            Apa yang ingin dimunculkan oleh Edi Mulyono, tentang dimensi-dimensi tersebut langsung nampak pada kisah pembuka yang berjudul Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Ada Untukku?. Pertama, dimensi materialisme nampak pada sosok aku, yang ditampilkan oleh Edi Mulyono.

Kini, aku punya segalanya. Segala yang diimpikan rata-rata manusia di abad ini. Rumah mewah, mobil premium, bahkan bukan hanya satu. Tabungan pun membludak, hingga sering terbit guyonan di antara teman-teman, “Rekeningmu tu udah penuh! Kalau mau lewat setor lewat ATM lagi, pasti muncul pesan begini, ‘Rekening yang anda tuju sudah penuh, cobalah buka rekening baru lagi….” Aku bisa beli apa saja yang kuinginkan saat ini juga …
(Halaman 17, paragraf 1)

            Dari paragraf di atas, Edi Mulyono membuka kisah dengan menampilkan dimensi materialisme. Sosok aku ditampilkan sebagai sosok yang memiliki kelimpahan materi atau kekayaan. Terlebih pada ungkapan “Aku bisa beli apa saja yang kuinginkan saat ini juga”. Pada kalimat tersebut sosok aku yang tampil tampak sebagai seorang yang mendewakan materi atau harta, dan seolah bisa membeli segalanya dengan harta yang dimilikinya. Dimensi materialisme dari tokoh aku juga nampak pada kalimat yang selanjutnya.

Baju-bajuku selalu keren, modis, up to date, flamboyanlah. Wangi? Tentu saja, aku nggak mau parfum abal-abal, apalagi yang refill sok impor itu. Bvlgari, Hugo, Luciano Soprani, dan lain-lain, aku punya banyak koleksinya. Arloji? Hmmm, Anda mau merk apa dan harga berapa, aku punya. Kuliner? Coba deh tanya aku, resto, kafe, atau lounge mana sih di seputar Jogja ini yang nggak pernah kusinggahi? Beberapa bahkan sampai kenal banget dengan plat mobilku, seleraku, pesanan khasku, yang sekali duduk bisa buat makan sebuah keluarga sebulan!.
(Halaman 18, paragraf 1)

            Kedua, dimensi humanisme pun muncul di paragraf yang selanjutnya. Di sini Edi Mulyono menampilkan tokoh aku dalam potret kehidupan yang humanis. Di mana hubungan aku dengan tokoh yang ada di sekitarnya sangat dihargai.

Begitu banyak sahabatku, dari yang memang sangat dekat, hingga yang sekedar say hello, hai-hei-hai-hei, dan dari yang sudah lama, hingga yang baru terlihat batang hidungnya sekali dua kali saja. Semua tampak begitu nyaman denganku, bangga terhadapku dan membutuhkanku. Semua begitu menyanjungku, selalu memberikan kursi terlebih dahulu buatku, selalu mendengarkan bacotanku, sekalipun aku seringkali menuturkan sesuatu yang amat sangat biasa, tidak bermakna, bahkan nggak penting banget untuk dibahas.
(Halaman 18, paragraf 3)

            Dalam paragraf di atas Edi Mulyono, menggarap bagaimana sisi humanisme antara tokoh aku dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kalimat “Semua tampak begitu nyaman denganku, bangga terhadapku dan membutuhkanku.” secara tersurat telah menunjukkan bahwa, tokoh aku yang tampil adalah seorang yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dengan menyadari perannya, sebagai seorang yang dibutuhkan oleh orang lain (makhluk sosial). Dimensi Humanisme ini juga muncul pada paragraf yang selanjutnya.

“Sungguh, betapa nyamannya jadi aku, diidolakan dimana-mana, dihargai dimana-mana, dan didengarkan dimana-mana. aku dianggep banget oleh siapa pun!”
(Halaman 19, paragraf 3)

Ketiga, pada part yang selanjutnya Edi Mulyono kembali menampilkan dimensi yang lain yakni dimensi kejiwaan. Di sini Edi Mulyono menampilkan sosok aku sebagai seorang yang tengah mengalami perenungan jiwa. Terjadi sebuah perang antara apa yang dialami oleh tokoh aku di dunia nyata dengan apa yang dirasakan jiwanya.

Tapi, benarkah ini semua karena aku? Pure? Murni? Jangan-jangan, aduuuh, ya, jangan-jangan ini kamuflase, tidak murni lagi, seperti tidak lagi murninya susu murni yang memasang spanduk tulisan susu murni sekalipun?
(Halaman 20, paragraf 3)

            Jelas sekali pada paragraf di atas tentang penggambaran dimensi kejiwaan dari tokoh aku. Sebelumnya tokoh aku digambarkan dengan menampilkan dimensi materialismenya, lalu beranjak pada dimensi humanismenya, dan, kemudian dimensi kejiwaannya. Di sini terjadi pertentangan yang ditampilkan oleh Edi Mulyono, yakni hubungan yang saling berkaitan antara kekayaan, hubungan sosial juga permasalahan jiwa dengan diri sendiri. Hal tersebut semakin tampak jelas pada paragraf yang selanjutnya.

Benarkah aku bahagia?
Sungguhkah aku nyaman dengan semua ini?
Sejatikah keberadaan mereka yag selalu siap kusakiti, kutemui saat kubutuhkan, dan kucampakkan saat kubosan?
Tuluskah melakukan semua itu untukku, demi diriku saja, semurni-murninya tanpa embel-embel apa pun?
(Halaman 21, paragraf 2-4)
           
            Keempat, ketika terjadi pertentangan antara dimensi-dimensi dari tokoh aku, Edi Mulyono nampak ingin menetralkannya dengan menampilkan dimensi keilahian atau dimensi spiritualitas dari tokoh aku itu sendiri. Di sini tokoh aku melibatkan Tuhan, untuk mengadukan perihal kegamangan yang dialaminya.

Ya Tuhanku….
Harus kuakui dari lubuk hatiku bahwa aku sungguh beruntung telah Engkau karuniai kelimpahan materi yang amat sangat luar biasa ini, yang dengannya aku bisa memiliki apa saja, dan bahkan “membeli” semua orang. Ya, kelimpahan materi! Kekayaan! Flamboyanku!
(Halaman 21, paragraf 5)

            Pada paragraf di atas tampak sekali bagaimana dimensi spiritual dari tokoh aku, yang menyadari bahwa kekayaan berupa materi yang dimilikinya tak lain adalah karunia dari Tuhan semata. Lebih jauh lagi dimensi spiritualitas atau keilahian disinggung di paragraf yang selanjutnya.

Andai saja Tuhan berkehendak mengambil semua yang kini ada padaku, dan itu sungguh sagat mudah bagi-Nya, semudah Dia membakar hangus sebuah pabrik raksasa dan menyebabkan empunya yang kemarin masih taipan seketika menjadi pecundang penuh utang, apakah aku masih akan dipuja, dielukan, didengarkan dan dianggap oleh mereka?
(Halaman 22, paragraf 1)

            Perang dimensi yang terjadi pada sosok aku di atas mampu menyadarkan saya, bahwa dalam kehidupan kita selalu dihadapkan pada persoalan yang tak boleh dipandang dalam satu sisi saja, satu dimensi saja. Dan menurut saya Edi Mulyono telah berhasil mengantarkan saya untuk mendapatkan pemahaman tentang hal tersebut dalam buku ini.
            Secara keseluruhan buku ini terdiri dari 14 kisah keseharian yang dirangkai dan dikemas dengan sangat menarik. Sajian perang dimensi yang selalu nampak, dengan bahasa yang jujur ditambah dengan guyonan yang khas dari Edi Mulyono. Keempatbelas kisah tersebut antara lain Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku?, Saat Kucium Kening Beku Nenek (In Memoriam Nenekku Jember), Kok Berat Banget Ya Minta Maaf?, Saat Hidup Hanya Memberiku Dua Pilihan, Cinta Dalam Hati, Nobody is Perfect, NATO (No Action Talk Only), Yang Maha Menyebalkan, Aku Ingin Cantik (Aku Benci Tubuhku!), Gosip, Wonder Women, Menjauh atau Mendekat Ya? Ngomong atau Ngentut Sih?, dan Dengarkan Aku.
            Kisah-kisah tersebut disajikan oleh Edi Mulyono dengan bahasa yang ringan, jujur dan secara blak-blakan. Dengan hal tersebut membuat kisah-kisah yang terkandung dalam buku ini dapat dimengerti oleh semua kalangan. Kekurangan yang saya dapatkan pada buku ini adalah terdapat beberapa halaman kosong (mungkin disengaja) seperti pada halaman 14, 28, 40, 98, 144, 158, 186, 198, dan 210. Hal itu cukup mengganggu bagi saya, halaman tersebut alangkah lebih baiknya jika dimanfaatkan sebagai kata mutiara atau ilustrasi. Namun demikian, sedikit kekurangan yang terdapat dalam buku ini tersebut tak mengurangi apresiasi saya terhadap buku ini. Dan, karya Edi Mulyono ini pun layak untuk dijadikan bahan bacaan yang menghibur dan inspiratif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar