Pohon, kalau
masih rindang daunnya, semua orang ingin berteduh di bawahnya. Namun jika sudah
meranggas, jangankan berteduh, bahkan semua ingin menebangnya, setidaknya untuk
dijadikan sebagai kayu bakar.
Kalimat bijak di atas mungkin
seringkali anda dengar, ketika masih kecil. Kalimat tersebut sangat syarat akan
makna kehidupan yang kita jalani. Manusia diibaratkan sebagai sebatang pohon,
ketika pohon tersebut masih rindang tentu semua orang akan menikmati suasana
duduk di bawahnya, beristirahat. Tetapi, ketika pohon tersebut telah meranggas,
kering dan telah kehilangan semua daun yang dimilikinya, dan tak lagi rindang
maka hampir dapat kita pastikan bahwa pohon tersebut hanya menunggu waktu untuk
ditebang, karena semua orang memandangnya tak lagi berguna. Dan, satu-satunya
yang bisa dimanfaatkan darinya hanyalah dijadikan kayu, baik sebagai kayu
bangunan maupun hanya sebagai kayu bakar yang gunanya tak sebanding dengan
ketika masih menjadi poho rindang. Demikian juga manusia, ketika manusia berada
dalam kesuksesan maka sangat mudah baginya untuk menaungi, merindangi banyak
orang seperti teman, keluarga, dan orang lain sekali pun. Namun ketika orang
tersebut berada dalam kebangkrutan, ke-pailit-an
maka jangankan mendekat, bahkan setiap orang ingin pergi menjauh dan tak jarang
yang dahulunya adalah teman dekat berubah menjadi seorang penyebar fitnah, yang
tak pernah terduga sebelumnya.
Ulasan di atas hanyalah salah satu
dari banyak hal menarik yang coba diungkap oleh Edi Mulyono, pada buku Andai
Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku? ini. Penulis yang lahir di
Lalangon, Manding, Sumenep, Jawa Timur ini mencoba menampilkan kisah hidup yang
dialaminya menggunakan bahasa keseharian yang jujur, dan blak-blak-an membuat kisah-kisah yang dihadirkan dalam buku ini
begitu hidup. Penulis yang terkenal dengan penerbit yang dikembangkannya, Diva
Press Group, dan atas karyanya Dijual
Murah Surga Seisinya (2010) ini memiliki ciri khas dengan menampilkan
persoalan hidup yang rumit dan kompleks menggunakan bahasa yang ringan dan penuh
dengan guyonan yang menggelitik,
membuat saya tidak merasa bosan ketika membaca buku ini. Dan, selalu tertarik
untuk membaca kelanjutan ceritanya. Bahkan, saya masih tertawa ketika membaca
buku ini, walau hal tersebut saya lakukan ke sekian kalinya.
Buku Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Ada Untukku? ini adalah karya
best seller. Dan telah dicetak ulang
sebanyak 12 kali. Hal tersebut tentunya menjadi salah satu keistimewaan buku
ini dan membuktikan bahwa minat para pembaca terhadap buku ini sangat tinggi.
Buku setebal 214 halaman dengan ukuran yang tidak terlalu besar, membuatnya
dapat dengan mudah untuk kita nikmati saat berada di tempat mana pun.
Karya Edi Mulyono ini dibuka dengan
penjelasan tentang siapa sebenarnya aku, kamu dan dia yang coba diungkap oleh
penulis dalam buku ini. Setelah membaca pengantar buku ini saya mendapatkan apa
yang sebenarnya ingin dijepret oleh
Edi Mulyono dalam buku ini, bukan semata-mata berkaitan dengan kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial saja, juga bukan semata-mata manusia sebagai
makhluk relijius saja tetapi telah mencakup keduanya.
Siapakah aku?
Siapakah engkau?
Siapakah dia?
Jawaban umum kita niscaya berpusar
pada ungkapan, “Ya, aku manusia, sebagaimana engkau dan dia ….” Then? Kalangan
yang mengagungkan dimensi spiritualitas pasti akan melengkapinya dengan
idiom-idiom khas ketuhanan atau agama. Kalangan pemuja humanisme pasti akan melengkapinya
dengan diksi-diksi kemanusiaan. Kalangan-kalangan materialisme pasti akan
melengkapinya dengan slogan-slogan kebendaan, menafikan Tuhan, dan bahkan lebih
ekstrem, semesta hati/jiwa.
(Hal
7, paragraf 1)
Membaca pengantar buku tersebut,
saya mendapatkan bahwa di sini, Edi Mulyono mencoba memunculkan berbagai
penafsiran dari para pembaca dalam berbagai macam dimensi, mulai dari dimensi
spiritualitas yang berhubungan dengan agama, humanisme yang berhubungan dengan
urusan kemanusiaan, materialisme dalam sudut kebendaan atau materi hingga
dimensi-dimensi yang lainnya.
Apa yang ingin dimunculkan oleh Edi
Mulyono, tentang dimensi-dimensi tersebut langsung nampak pada kisah pembuka
yang berjudul Andai Aku Jalan Kaki,
Masihkah Engkau Ada Untukku?. Pertama, dimensi materialisme nampak pada
sosok aku, yang ditampilkan oleh Edi
Mulyono.
Kini, aku punya
segalanya. Segala yang diimpikan rata-rata manusia di abad ini. Rumah mewah,
mobil premium, bahkan bukan hanya satu. Tabungan pun membludak, hingga sering
terbit guyonan di antara teman-teman, “Rekeningmu tu udah penuh! Kalau mau
lewat setor lewat ATM lagi, pasti muncul pesan begini, ‘Rekening yang anda tuju
sudah penuh, cobalah buka rekening baru lagi….” Aku bisa beli apa saja yang
kuinginkan saat ini juga …
(Halaman
17, paragraf 1)
Dari paragraf di atas, Edi Mulyono
membuka kisah dengan menampilkan dimensi materialisme. Sosok aku ditampilkan sebagai sosok yang
memiliki kelimpahan materi atau kekayaan. Terlebih pada ungkapan “Aku bisa beli apa saja yang kuinginkan saat
ini juga”. Pada kalimat tersebut sosok aku
yang tampil tampak sebagai seorang yang mendewakan materi atau harta, dan
seolah bisa membeli segalanya dengan harta yang dimilikinya. Dimensi
materialisme dari tokoh aku juga
nampak pada kalimat yang selanjutnya.
Baju-bajuku
selalu keren, modis, up to date, flamboyanlah. Wangi? Tentu saja, aku nggak mau
parfum abal-abal, apalagi yang refill sok impor itu. Bvlgari, Hugo, Luciano
Soprani, dan lain-lain, aku punya banyak koleksinya. Arloji? Hmmm, Anda mau merk
apa dan harga berapa, aku punya. Kuliner? Coba deh tanya aku, resto, kafe, atau
lounge mana sih di seputar Jogja ini yang nggak pernah kusinggahi? Beberapa
bahkan sampai kenal banget dengan plat mobilku, seleraku, pesanan khasku, yang
sekali duduk bisa buat makan sebuah keluarga sebulan!.
(Halaman
18, paragraf 1)
Kedua, dimensi humanisme pun muncul
di paragraf yang selanjutnya. Di sini Edi Mulyono menampilkan tokoh aku dalam potret kehidupan yang humanis.
Di mana hubungan aku dengan tokoh
yang ada di sekitarnya sangat dihargai.
Begitu banyak
sahabatku, dari yang memang sangat dekat, hingga yang sekedar say hello,
hai-hei-hai-hei, dan dari yang sudah lama, hingga yang baru terlihat batang
hidungnya sekali dua kali saja. Semua tampak begitu nyaman denganku, bangga
terhadapku dan membutuhkanku. Semua begitu menyanjungku, selalu memberikan
kursi terlebih dahulu buatku, selalu mendengarkan bacotanku, sekalipun aku
seringkali menuturkan sesuatu yang amat sangat biasa, tidak bermakna, bahkan
nggak penting banget untuk dibahas.
(Halaman
18, paragraf 3)
Dalam paragraf di atas Edi Mulyono,
menggarap bagaimana sisi humanisme antara tokoh aku dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kalimat “Semua tampak begitu nyaman denganku, bangga
terhadapku dan membutuhkanku.” secara tersurat telah menunjukkan bahwa,
tokoh aku yang tampil adalah seorang
yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dengan menyadari perannya, sebagai
seorang yang dibutuhkan oleh orang lain (makhluk sosial). Dimensi Humanisme ini
juga muncul pada paragraf yang selanjutnya.
“Sungguh, betapa
nyamannya jadi aku, diidolakan dimana-mana, dihargai dimana-mana, dan
didengarkan dimana-mana. aku dianggep banget oleh siapa pun!”
(Halaman
19, paragraf 3)
Ketiga, pada part yang selanjutnya Edi Mulyono kembali menampilkan dimensi yang
lain yakni dimensi kejiwaan. Di sini Edi Mulyono menampilkan sosok aku sebagai seorang yang tengah
mengalami perenungan jiwa. Terjadi sebuah perang antara apa yang dialami oleh
tokoh aku di dunia nyata dengan apa
yang dirasakan jiwanya.
Tapi, benarkah
ini semua karena aku? Pure? Murni? Jangan-jangan, aduuuh, ya, jangan-jangan ini
kamuflase, tidak murni lagi, seperti tidak lagi murninya susu murni yang
memasang spanduk tulisan susu murni sekalipun?
(Halaman
20, paragraf 3)
Jelas sekali pada paragraf di atas
tentang penggambaran dimensi kejiwaan dari tokoh aku. Sebelumnya tokoh aku digambarkan dengan menampilkan dimensi
materialismenya, lalu beranjak pada dimensi humanismenya, dan, kemudian dimensi
kejiwaannya. Di sini terjadi pertentangan yang ditampilkan oleh Edi Mulyono,
yakni hubungan yang saling berkaitan antara kekayaan, hubungan sosial juga
permasalahan jiwa dengan diri sendiri. Hal tersebut semakin tampak jelas pada
paragraf yang selanjutnya.
Benarkah aku
bahagia?
Sungguhkah aku
nyaman dengan semua ini?
Sejatikah
keberadaan mereka yag selalu siap kusakiti, kutemui saat kubutuhkan, dan
kucampakkan saat kubosan?
Tuluskah
melakukan semua itu untukku, demi diriku saja, semurni-murninya tanpa
embel-embel apa pun?
(Halaman
21, paragraf 2-4)
Keempat, ketika terjadi pertentangan
antara dimensi-dimensi dari tokoh aku,
Edi Mulyono nampak ingin menetralkannya dengan menampilkan dimensi keilahian
atau dimensi spiritualitas dari tokoh aku
itu sendiri. Di sini tokoh aku
melibatkan Tuhan, untuk mengadukan perihal kegamangan yang dialaminya.
Ya Tuhanku….
Harus kuakui
dari lubuk hatiku bahwa aku sungguh beruntung telah Engkau karuniai kelimpahan
materi yang amat sangat luar biasa ini, yang dengannya aku bisa memiliki apa
saja, dan bahkan “membeli” semua orang. Ya, kelimpahan materi! Kekayaan!
Flamboyanku!
(Halaman
21, paragraf 5)
Pada paragraf di atas tampak sekali
bagaimana dimensi spiritual dari tokoh aku,
yang menyadari bahwa kekayaan berupa materi yang dimilikinya tak lain
adalah karunia dari Tuhan semata. Lebih jauh lagi dimensi spiritualitas atau
keilahian disinggung di paragraf yang selanjutnya.
Andai saja Tuhan
berkehendak mengambil semua yang kini ada padaku, dan itu sungguh sagat mudah
bagi-Nya, semudah Dia membakar hangus sebuah pabrik raksasa dan menyebabkan
empunya yang kemarin masih taipan seketika menjadi pecundang penuh utang,
apakah aku masih akan dipuja, dielukan, didengarkan dan dianggap oleh mereka?
(Halaman
22, paragraf 1)
Perang dimensi yang terjadi pada
sosok aku di atas mampu menyadarkan
saya, bahwa dalam kehidupan kita selalu dihadapkan pada persoalan yang tak
boleh dipandang dalam satu sisi saja, satu dimensi saja. Dan menurut saya Edi
Mulyono telah berhasil mengantarkan saya untuk mendapatkan pemahaman tentang
hal tersebut dalam buku ini.
Secara keseluruhan buku ini terdiri
dari 14 kisah keseharian yang dirangkai dan dikemas dengan sangat menarik.
Sajian perang dimensi yang selalu nampak, dengan bahasa yang jujur ditambah
dengan guyonan yang khas dari Edi Mulyono. Keempatbelas kisah tersebut antara
lain Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah
Engkau Selalu Ada Untukku?, Saat Kucium Kening Beku Nenek (In Memoriam Nenekku
Jember), Kok Berat Banget Ya Minta Maaf?, Saat Hidup Hanya Memberiku Dua
Pilihan, Cinta Dalam Hati, Nobody is Perfect, NATO (No Action Talk Only), Yang
Maha Menyebalkan, Aku Ingin Cantik (Aku Benci Tubuhku!), Gosip, Wonder Women,
Menjauh atau Mendekat Ya? Ngomong atau Ngentut Sih?, dan Dengarkan Aku.
Kisah-kisah tersebut disajikan oleh
Edi Mulyono dengan bahasa yang ringan, jujur dan secara blak-blakan. Dengan hal tersebut membuat kisah-kisah yang
terkandung dalam buku ini dapat dimengerti oleh semua kalangan. Kekurangan yang
saya dapatkan pada buku ini adalah terdapat beberapa halaman kosong (mungkin disengaja)
seperti pada halaman 14, 28, 40, 98, 144, 158, 186, 198, dan 210. Hal itu cukup
mengganggu bagi saya, halaman tersebut alangkah lebih baiknya jika dimanfaatkan
sebagai kata mutiara atau ilustrasi. Namun demikian, sedikit kekurangan yang
terdapat dalam buku ini tersebut tak mengurangi apresiasi saya terhadap buku
ini. Dan, karya Edi Mulyono ini pun layak untuk dijadikan bahan bacaan yang
menghibur dan inspiratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar