Minggu, 15 Juni 2014

RESENSI: Perang Dimensi dalam Buku Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku? Karya Edi Mulyono




Pohon, kalau masih rindang daunnya, semua orang ingin berteduh di bawahnya. Namun jika sudah meranggas, jangankan berteduh, bahkan semua ingin menebangnya, setidaknya untuk dijadikan sebagai kayu bakar.

            Kalimat bijak di atas mungkin seringkali anda dengar, ketika masih kecil. Kalimat tersebut sangat syarat akan makna kehidupan yang kita jalani. Manusia diibaratkan sebagai sebatang pohon, ketika pohon tersebut masih rindang tentu semua orang akan menikmati suasana duduk di bawahnya, beristirahat. Tetapi, ketika pohon tersebut telah meranggas, kering dan telah kehilangan semua daun yang dimilikinya, dan tak lagi rindang maka hampir dapat kita pastikan bahwa pohon tersebut hanya menunggu waktu untuk ditebang, karena semua orang memandangnya tak lagi berguna. Dan, satu-satunya yang bisa dimanfaatkan darinya hanyalah dijadikan kayu, baik sebagai kayu bangunan maupun hanya sebagai kayu bakar yang gunanya tak sebanding dengan ketika masih menjadi poho rindang. Demikian juga manusia, ketika manusia berada dalam kesuksesan maka sangat mudah baginya untuk menaungi, merindangi banyak orang seperti teman, keluarga, dan orang lain sekali pun. Namun ketika orang tersebut berada dalam kebangkrutan, ke-pailit-an maka jangankan mendekat, bahkan setiap orang ingin pergi menjauh dan tak jarang yang dahulunya adalah teman dekat berubah menjadi seorang penyebar fitnah, yang tak pernah terduga sebelumnya.
            Ulasan di atas hanyalah salah satu dari banyak hal menarik yang coba diungkap oleh Edi Mulyono, pada buku Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku? ini. Penulis yang lahir di Lalangon, Manding, Sumenep, Jawa Timur ini mencoba menampilkan kisah hidup yang dialaminya menggunakan bahasa keseharian yang jujur, dan blak-blak-an membuat kisah-kisah yang dihadirkan dalam buku ini begitu hidup. Penulis yang terkenal dengan penerbit yang dikembangkannya, Diva Press Group, dan atas karyanya Dijual Murah Surga Seisinya (2010) ini memiliki ciri khas dengan menampilkan persoalan hidup yang rumit dan kompleks menggunakan bahasa yang ringan dan penuh dengan guyonan yang menggelitik, membuat saya tidak merasa bosan ketika membaca buku ini. Dan, selalu tertarik untuk membaca kelanjutan ceritanya. Bahkan, saya masih tertawa ketika membaca buku ini, walau hal tersebut saya lakukan ke sekian kalinya.
            Buku Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Ada Untukku? ini adalah karya best seller. Dan telah dicetak ulang sebanyak 12 kali. Hal tersebut tentunya menjadi salah satu keistimewaan buku ini dan membuktikan bahwa minat para pembaca terhadap buku ini sangat tinggi. Buku setebal 214 halaman dengan ukuran yang tidak terlalu besar, membuatnya dapat dengan mudah untuk kita nikmati saat berada di tempat mana pun.
            Karya Edi Mulyono ini dibuka dengan penjelasan tentang siapa sebenarnya aku, kamu dan dia yang coba diungkap oleh penulis dalam buku ini. Setelah membaca pengantar buku ini saya mendapatkan apa yang sebenarnya ingin dijepret oleh Edi Mulyono dalam buku ini, bukan semata-mata berkaitan dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial saja, juga bukan semata-mata manusia sebagai makhluk relijius saja tetapi telah mencakup keduanya.

Siapakah aku?
Siapakah engkau?
Siapakah dia?
            Jawaban umum kita niscaya berpusar pada ungkapan, “Ya, aku manusia, sebagaimana engkau dan dia ….” Then? Kalangan yang mengagungkan dimensi spiritualitas pasti akan melengkapinya dengan idiom-idiom khas ketuhanan atau agama. Kalangan pemuja humanisme pasti akan melengkapinya dengan diksi-diksi kemanusiaan. Kalangan-kalangan materialisme pasti akan melengkapinya dengan slogan-slogan kebendaan, menafikan Tuhan, dan bahkan lebih ekstrem, semesta hati/jiwa.
(Hal 7, paragraf 1)

            Membaca pengantar buku tersebut, saya mendapatkan bahwa di sini, Edi Mulyono mencoba memunculkan berbagai penafsiran dari para pembaca dalam berbagai macam dimensi, mulai dari dimensi spiritualitas yang berhubungan dengan agama, humanisme yang berhubungan dengan urusan kemanusiaan, materialisme dalam sudut kebendaan atau materi hingga dimensi-dimensi yang lainnya.
            Apa yang ingin dimunculkan oleh Edi Mulyono, tentang dimensi-dimensi tersebut langsung nampak pada kisah pembuka yang berjudul Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Ada Untukku?. Pertama, dimensi materialisme nampak pada sosok aku, yang ditampilkan oleh Edi Mulyono.

Kini, aku punya segalanya. Segala yang diimpikan rata-rata manusia di abad ini. Rumah mewah, mobil premium, bahkan bukan hanya satu. Tabungan pun membludak, hingga sering terbit guyonan di antara teman-teman, “Rekeningmu tu udah penuh! Kalau mau lewat setor lewat ATM lagi, pasti muncul pesan begini, ‘Rekening yang anda tuju sudah penuh, cobalah buka rekening baru lagi….” Aku bisa beli apa saja yang kuinginkan saat ini juga …
(Halaman 17, paragraf 1)

            Dari paragraf di atas, Edi Mulyono membuka kisah dengan menampilkan dimensi materialisme. Sosok aku ditampilkan sebagai sosok yang memiliki kelimpahan materi atau kekayaan. Terlebih pada ungkapan “Aku bisa beli apa saja yang kuinginkan saat ini juga”. Pada kalimat tersebut sosok aku yang tampil tampak sebagai seorang yang mendewakan materi atau harta, dan seolah bisa membeli segalanya dengan harta yang dimilikinya. Dimensi materialisme dari tokoh aku juga nampak pada kalimat yang selanjutnya.

Baju-bajuku selalu keren, modis, up to date, flamboyanlah. Wangi? Tentu saja, aku nggak mau parfum abal-abal, apalagi yang refill sok impor itu. Bvlgari, Hugo, Luciano Soprani, dan lain-lain, aku punya banyak koleksinya. Arloji? Hmmm, Anda mau merk apa dan harga berapa, aku punya. Kuliner? Coba deh tanya aku, resto, kafe, atau lounge mana sih di seputar Jogja ini yang nggak pernah kusinggahi? Beberapa bahkan sampai kenal banget dengan plat mobilku, seleraku, pesanan khasku, yang sekali duduk bisa buat makan sebuah keluarga sebulan!.
(Halaman 18, paragraf 1)

            Kedua, dimensi humanisme pun muncul di paragraf yang selanjutnya. Di sini Edi Mulyono menampilkan tokoh aku dalam potret kehidupan yang humanis. Di mana hubungan aku dengan tokoh yang ada di sekitarnya sangat dihargai.

Begitu banyak sahabatku, dari yang memang sangat dekat, hingga yang sekedar say hello, hai-hei-hai-hei, dan dari yang sudah lama, hingga yang baru terlihat batang hidungnya sekali dua kali saja. Semua tampak begitu nyaman denganku, bangga terhadapku dan membutuhkanku. Semua begitu menyanjungku, selalu memberikan kursi terlebih dahulu buatku, selalu mendengarkan bacotanku, sekalipun aku seringkali menuturkan sesuatu yang amat sangat biasa, tidak bermakna, bahkan nggak penting banget untuk dibahas.
(Halaman 18, paragraf 3)

            Dalam paragraf di atas Edi Mulyono, menggarap bagaimana sisi humanisme antara tokoh aku dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kalimat “Semua tampak begitu nyaman denganku, bangga terhadapku dan membutuhkanku.” secara tersurat telah menunjukkan bahwa, tokoh aku yang tampil adalah seorang yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dengan menyadari perannya, sebagai seorang yang dibutuhkan oleh orang lain (makhluk sosial). Dimensi Humanisme ini juga muncul pada paragraf yang selanjutnya.

“Sungguh, betapa nyamannya jadi aku, diidolakan dimana-mana, dihargai dimana-mana, dan didengarkan dimana-mana. aku dianggep banget oleh siapa pun!”
(Halaman 19, paragraf 3)

Ketiga, pada part yang selanjutnya Edi Mulyono kembali menampilkan dimensi yang lain yakni dimensi kejiwaan. Di sini Edi Mulyono menampilkan sosok aku sebagai seorang yang tengah mengalami perenungan jiwa. Terjadi sebuah perang antara apa yang dialami oleh tokoh aku di dunia nyata dengan apa yang dirasakan jiwanya.

Tapi, benarkah ini semua karena aku? Pure? Murni? Jangan-jangan, aduuuh, ya, jangan-jangan ini kamuflase, tidak murni lagi, seperti tidak lagi murninya susu murni yang memasang spanduk tulisan susu murni sekalipun?
(Halaman 20, paragraf 3)

            Jelas sekali pada paragraf di atas tentang penggambaran dimensi kejiwaan dari tokoh aku. Sebelumnya tokoh aku digambarkan dengan menampilkan dimensi materialismenya, lalu beranjak pada dimensi humanismenya, dan, kemudian dimensi kejiwaannya. Di sini terjadi pertentangan yang ditampilkan oleh Edi Mulyono, yakni hubungan yang saling berkaitan antara kekayaan, hubungan sosial juga permasalahan jiwa dengan diri sendiri. Hal tersebut semakin tampak jelas pada paragraf yang selanjutnya.

Benarkah aku bahagia?
Sungguhkah aku nyaman dengan semua ini?
Sejatikah keberadaan mereka yag selalu siap kusakiti, kutemui saat kubutuhkan, dan kucampakkan saat kubosan?
Tuluskah melakukan semua itu untukku, demi diriku saja, semurni-murninya tanpa embel-embel apa pun?
(Halaman 21, paragraf 2-4)
           
            Keempat, ketika terjadi pertentangan antara dimensi-dimensi dari tokoh aku, Edi Mulyono nampak ingin menetralkannya dengan menampilkan dimensi keilahian atau dimensi spiritualitas dari tokoh aku itu sendiri. Di sini tokoh aku melibatkan Tuhan, untuk mengadukan perihal kegamangan yang dialaminya.

Ya Tuhanku….
Harus kuakui dari lubuk hatiku bahwa aku sungguh beruntung telah Engkau karuniai kelimpahan materi yang amat sangat luar biasa ini, yang dengannya aku bisa memiliki apa saja, dan bahkan “membeli” semua orang. Ya, kelimpahan materi! Kekayaan! Flamboyanku!
(Halaman 21, paragraf 5)

            Pada paragraf di atas tampak sekali bagaimana dimensi spiritual dari tokoh aku, yang menyadari bahwa kekayaan berupa materi yang dimilikinya tak lain adalah karunia dari Tuhan semata. Lebih jauh lagi dimensi spiritualitas atau keilahian disinggung di paragraf yang selanjutnya.

Andai saja Tuhan berkehendak mengambil semua yang kini ada padaku, dan itu sungguh sagat mudah bagi-Nya, semudah Dia membakar hangus sebuah pabrik raksasa dan menyebabkan empunya yang kemarin masih taipan seketika menjadi pecundang penuh utang, apakah aku masih akan dipuja, dielukan, didengarkan dan dianggap oleh mereka?
(Halaman 22, paragraf 1)

            Perang dimensi yang terjadi pada sosok aku di atas mampu menyadarkan saya, bahwa dalam kehidupan kita selalu dihadapkan pada persoalan yang tak boleh dipandang dalam satu sisi saja, satu dimensi saja. Dan menurut saya Edi Mulyono telah berhasil mengantarkan saya untuk mendapatkan pemahaman tentang hal tersebut dalam buku ini.
            Secara keseluruhan buku ini terdiri dari 14 kisah keseharian yang dirangkai dan dikemas dengan sangat menarik. Sajian perang dimensi yang selalu nampak, dengan bahasa yang jujur ditambah dengan guyonan yang khas dari Edi Mulyono. Keempatbelas kisah tersebut antara lain Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku?, Saat Kucium Kening Beku Nenek (In Memoriam Nenekku Jember), Kok Berat Banget Ya Minta Maaf?, Saat Hidup Hanya Memberiku Dua Pilihan, Cinta Dalam Hati, Nobody is Perfect, NATO (No Action Talk Only), Yang Maha Menyebalkan, Aku Ingin Cantik (Aku Benci Tubuhku!), Gosip, Wonder Women, Menjauh atau Mendekat Ya? Ngomong atau Ngentut Sih?, dan Dengarkan Aku.
            Kisah-kisah tersebut disajikan oleh Edi Mulyono dengan bahasa yang ringan, jujur dan secara blak-blakan. Dengan hal tersebut membuat kisah-kisah yang terkandung dalam buku ini dapat dimengerti oleh semua kalangan. Kekurangan yang saya dapatkan pada buku ini adalah terdapat beberapa halaman kosong (mungkin disengaja) seperti pada halaman 14, 28, 40, 98, 144, 158, 186, 198, dan 210. Hal itu cukup mengganggu bagi saya, halaman tersebut alangkah lebih baiknya jika dimanfaatkan sebagai kata mutiara atau ilustrasi. Namun demikian, sedikit kekurangan yang terdapat dalam buku ini tersebut tak mengurangi apresiasi saya terhadap buku ini. Dan, karya Edi Mulyono ini pun layak untuk dijadikan bahan bacaan yang menghibur dan inspiratif.

Kamis, 12 Juni 2014

Coretan tentang Dinding Jalanan


Diklat UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang 2013/2014



Pentas Mini Meriahkan Penutupan Agenda Diklat
               
Pentas mini UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang telah berhasil terlaksana dengan lancar pada hari Sabtu tanggal 18 Januari 2014 yang lalu. Acara pentas mini tersebut merupakan penutup dari rangkaian acara Penerimaan Anggota Baru UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang tahun 2014. Pentas mini yang digelar dengan memanfaatkan halaman di antara gedung B dan gedung C STKIP PGRI Jombang tersebut berlangsung sangat meriah karena pada acara tersebut tak kurang dari100 mahasiswa yang menghadiri acara itu yang di antaranya terdiri dari para anggota senior, calon anggota baru dan juga tamu undangan dari ORMAWA yang ada di lingkungan kampus STKIP PGRI Jombang  serta tamu undangan dari UKM Lokananta STKIP PGRI Nganjuk.
            Sebelumnya, para calon anggota baru UKM Karawitan Puspita Laras tersebut harus menjalani serangkaian acara diklat yang bertemakan “Merajut Kebersamaan Indahkan Seni Tradisi” yang telah sukses terlaksana di SMPN 2 Wonosalam. Sebenarnya acara diklat tersebut rencananya akan dilaksanakan di Vila Kerta Pusaka Wonokerto, namun karena ada sebuah hal di luar rencana terkait dengan tempat pelaksanaan maka demi tetap berlangsungnya kegiatan, panitia memutuskan untuk mengalihkan diklat di SMPN 2 Wonosalam.
            Pada acara diklat yang berlangsung dari tanggal 27 hingga tanggal 29 Januari tersebut para calon anggota baru UKM Karawitan mendapatkan banyak ilmu yang disampaikan oleh para pemateri yang hadir. Yang di antaranya adalah materi mengenai keorganisasian, kekarawitanan, materi Outbond di air terjun Pudak Sari dan materi lainnya.
            Para Calon anggota Baru UKM Karawitan Puspita Laras tampak sangat antusias dalam menjalani serangkaian kegiatan tersebut, mulai dari diklat di Wonosalam hingga acara pentas mini di kampus STKIP PGRI Jombang. Di Pentas mini tersebut para calon anggota baru tidak hanya menyaksikan penampilan dari para seniornya saja tetapi mereka harus menampilkan penampilan mereka dalam menabuh perangkat gamelan.
            Acara pentas mini berakhir setelah pencopotan tanda peserta sebagai simbolik bahwa para calon anggota baru UKM Karawitan Puspita Laras telah resmi menjadi anggota UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang yang ke depannya diharapkan akan mampu mengindahkan seni tradisi khususnya di lingkungan STKIP PGRI Jombang. (cdr)

RESENSI: KUMPULAN KISAH MOTIVASI DALAM BUKU MANUSIA PEMBELAJAR ADALAH MANUSIA SUKSES KARYA TRISWANTO ST



KUMPULAN KISAH MOTIVASI DALAM BUKU
MANUSIA PEMBELAJAR ADALAH MANUSIA SUKSES
 KARYA TRISWANTO ST
Oleh Candra Irawan

Judul buku                  : Manusia Pembelajar adalah Manusia Sukses
Penulis                         : Triswanto ST
Penerbit                       : Oryza
Tahun terbit                 : 2012
Kota terbit                   : Yogjakarta
Jumlah halaman           : 183 halaman
Sinopsis:
            Pengetahuan dapat diperoleh di mana pun, kapan pun dan dari siapa pun. Cara pandang terhadap sesuatu baik kisah, kejadian, atau apa saja akan mempengaruhi bagaimana kualitas hidup dan nilai hidup yang dimiliki. Itulah sebabnya manusia menyukai pembelajaran akan memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik. Setidaknya spirit yang mereka tangkap dari kisah sukses, strategi yang menginspirasi dari kisah, penuturan, nilai hidup dari orang-orang sukses menciptakan gagasan dan penggerak yang luar biasa untuk menciptakan jalan yang luar biasa pula.
Manusia Pembelajar adalah Manusia Sukses, tidak memberikan kunci meraih sukses, karena kunci itu ada pada diri pembaca sekalian. Pemaparan mengenai sebuah kisah Belalang, kehidupan seekor Kukang, film tragedy kapal Poseidon, Pit Stop dalam film F1, perjuangan Amazon.com, Ronald Reagen, donator-donatur unik, Starbucks Cofee dengan enam pilar suksesnya, peluang B2B dengan kiat sukses hingga kemenangan Barrack Obama menjadikan pelajaran hidup yang menginspirasi Anda keluarbiasaan jalan kesuksesan lainnya. Karena Anda lah manusia pembelajar peraih kesuksesan hidup.
Kelebihan Buku.
            Buku Manusia Pembelajar adalah Manusia Sukses ini menawarkan beragam penafsiran mengenai arti dari sebuah kesuksesan. Triswanto ST, sebagai penulis tidak menggiring pembaca untuk memaknai sebuah kesuksesan dengan sebuah pengertian yang tersurat, tetapi sajian kisah-kisah yang tertulis dalam buku ini, yang akan memberikan kesadaran bagi para pembaca tentang sebuah kesuksesan, yang dapat diraih dengan berbagai proses belajar.
            Buku ini mampu membuat pembaca termotivasi terhadap kisah-kisah di dalamnya. Pembaca diarahkan untuk merenungi tentang perjuangan panjang dari orang-orang sukses yang menempuh perjuangan dan proses belajar terebih dahulu. Seperti kisah tentang perjuangan hidup Barack Obama, Tenzing Norgay, Jeff Bezos dan sebagainya yang diceritakan dengan menarik.  Lebih lanjut lagi, pembaca tidak hanya dibiarkan untuk menikmati sekumpulan kisah saja. Namun, dalam setiap kisah yang diceritakan, penulis memberikan semacam pembahasan mengenai nilai yang terdapat dalam kisah tersebut.
“Apa yang bisa kita lihat dari kisah Frank dalam film Schindler’s List dan kisah Jeff Bezos sangat sesuai dengan pepatah cina ‘Jika Tuhan menutup pintu, Ia akan membuka jendela’ artinya di setiap tantangan atau krisis terdapat sisi peluang yang tersamar. Yakinlah, Tuhan tidak akan menguji manusia di luar kekuatan yang dapat ditanggungnya, dan Tuhan akan memberikan jalan keluar atau peluang yang tersamar sehingga kita bisa keluar dari penderitaan.” (Halaman 121 paragraf 2).
           


Berdasarkan paragraf di atas, terlihat bahwa penulis ingin memberikan sebuah penjelasan mengenai kisah yang diceritakannya. Jadi, meskipun pada dasarnya penulis memberikan kebebasan pada para pembaca untuk menentukan makna dari sebuah kesuksesan, di sini penulis masih memberikan semacam kerangka bagi pembaca agar tidak terlampau jauh meninggalkan konteks pemahaman yang diinginkan oleh penulis bagi pembaca.
Kekurangan Buku.
            Meski memiliki banyak kelebihan, namun di sini saya masih menemukan beberapa kekurangan pada buku Manusia Pembelajar adalah Manusia Sukses ini. Terutama yang paling terlihat adalah kesalahan dalam penggunaan tanda baca, dan kesalahan dalam pengetikan. Selain itu, kekurangan lainnya adalah dalam buku ini tidak terdapat semacam glosarium atau penjelasan tentang kata-kata sulit. Padahal dalam menjelaskan sebuah kisah di dalam buku ini, penulis seringkali menggunakan kata-kata asing. Sehingga dengannya akan lebih memudahkan bagi para pembaca untuk memahami buku ini, ketika dilengkapi dengan penjelasan kata-kata sulit tersebut.
Simpulan.
            Buku Manusia Pembelajar adalah Manusia Sukses ini merupakan buku yang sangat menarik. Di dalamnya telah tersaji berbagai kisah perjuangan dari orang-orang sukses yang akan membuat kita merasa tergugah untuk melakukan perjuangan yang serupa. Dengan berbagai macam analisis kisah yang disampaikan sebagai penjelasan yang diberikan oleh penulis, membuat pembaca terdoktrin untuk menemukan kunci kesuksesan dalam dirinya. Terlepas dari segala kekurangan yang terdapat dalam buku ini, maka siapa pun anda, baik dari kalangan terpelajar maupun masyarakat umum, saya rasa penting untuk membaca buku ini. Karena anda akan menemukan rangkaian proses tentang bagaimanakah orang-orang sukses dalam belajar mencapai sebuah kesuksesan yang diimpikannya.

Sabtu, 07 Juni 2014

Cerpen: Srinjing dan Dilemaku, Sulastri

Cerpen Srinjing dan Dilemaku, Sulastri

(sumber gambar: google)

Srinjing dan Dilemaku, Sulastri
Oleh Candra Irawan
Hampir setiap hari aku meghabiskan waktu istirahatku di sini. Di kali Srinjing. Di desaku yang masih asri yang jauh dari kata maju. Mungkin beranjak atau berkembang jauh lebih tepat aku sematkan untuk menggambarkan keadaan desaku saat ini. Setidaknya itu lebih baik daripada aku mengatakan desaku telah maju dan penduduknya sejahtera dan selalu hidup bahagia. Mungkin akan menjadi sebuah lelucon jika aku menyombongkan sebuah kebohongan macam itu. Ya itulah desaku , desa kecil di timur kabupaten Kediri. Tak perlulah kujelaskan tentang semua seluk-beluk tentang desaku disini karena aku yakin ada sebuah hal yang lebih menarik untuk kuceritakan. Bukan menyoal tentang desaku, tapi lebih tepatnya aku lebih senang bercerita tentang bidadari kali Srinjing yang selalu memanjakan mataku. Bidadari kali Srinjing yang kuceritakan ini bernama Sulastri. Kau, seorang bidadari dari desa seberang yang selalu mandi di kali Srinjing.
Awal aku mengenalmu Sulastri, adalah ketika aku seperti biasa menumpahkan semua lumpur, keringat dan sisa rasa lelah setelah mencangkul tanah juraganku di kali ini. Aku terbiasa mandi di kali ini, bukan hanya aku saja. Banyak penduduk lain di desaku juga sangat sayang pada kali Srinjing. Bahkan tak hanya keringat saja yang ingin mereka dan aku bagikan pada kali Srinjing. Demi kecintaan dan kesetiaan atau mungkin juga bisa jadi karena keterpaksaan dari sebuah keadaan desaku yang memaksa mereka dan juga aku menumpahkan dan menyisakan sedikit sisa lelah keringat, sampah, kencing, atau bahkan juga kotoran busuk yang aku yakin kau tahu itu. Ya itu adalah sisa makanan yang harus mereka dan juga aku keluarkan dari tubuh sisa kiriman sarapan yang mereka dan juga aku lahap untuk menyemangati kerja tadi pagi.
Ketika waktu itu aku menanggalkan seluruh pakaian yang kukenakan bersama dengan teman-temanku yang lain, yang mungkin tanpa kuceritakan pun kau tahu akan hal itu. Jarak antara aku, mereka dan kau hanya selemparan pandang saja. Tapi kulirik kau cuek-cuek saja. Mungkin kau sudah terbiasa akan hal ini. Mungkin juga kau menganggap aku dan mereka sebagai tontonan atau mungkin sebatas iseng kau lemparkan senyum padaku waktu itu. Sulastri. Kau tanpa ragu menuruni tangga-tangga tanah yang telah dipersiapkan oleh orang-orang jaman dulu. Mungkin, yang membuatmu leluasa menuruninya menuju kali Srinjing yang jernih. Dari gerak-gerikmu dan barang bawaanmu kala itu aku sangat yakin apa yang akan kau lakukan disini. Di kali Srinjing ini. Tanpa bertanya aku tahu kalau kau akan mencuci seember penuh pakaian kotor yang kau bawa.
Masih dengan telanjang bulat, tapi kali ini aku menenggelamkan tubuhku hingga sebatas perut. Lalu segera menyapamu: “Lagi nyuci tri!” . Kau hanya menoleh sebentar sembari melemparkan sebuah senyum kau kembali membalikan badanmu dan meneruskan pekerjaan yang ingin segera kau selesaikan. Mencuci.
Hari memang sudah sore tapi terik matahari di sini masih saja menyengat kulitku dan mungkin juga mereka atau bahkan kulit hitam manismu pun ikut merintih karena terbakar  amukan sang surya yang tak ingin kau tunjukan kepolosanmu di sini. Di kali Srinjing ini. Tapi kau tak menggubris semua itu, dengan sedikit melirik ke arahmu aku dan mungkin juga mereka pun tahu apa yang sedang kau lakukan. Kau telah menyelesaikan setiap baju yang kau cuci. Dan bahkan kini kau bersiap melepas setiap helai benang yang kau lilitkan di tubuhmu. Aku dan mereka beruntung saat ini karena dapat melihat dengan langsung sebuah pemandangan tentang bidadari polos yang sedang mandi. Dan otak jailku pun berbisik: Ingin rasanya aku mencuri semua pakaian yang kau bawa. Kau tahu mengapa? Karena aku ingin menirukan akal cerdik seorang pemuda dalam sebuah legenda Jaka tarub yang seringkali dibacakan oleh guru SDku dulu. Kau tahu cerita itu bukan? Ya aku sangat yakin  sebagai seorang bidadari yang mencintai negerinya kau pasti tahu banyak cerita tentang dongeng, legenda dan mitos yang ada di desa ini, di desa seberang atau mungkin desa lain di luar sana.
            Aku dan mereka memang beruntung tapi sesungguhnya kau pun juga beruntung. Sulastri. Aku tahu kau pasti pernah melihat berita di layar televisi. Kuharap kau paham maksudku. Jikalaupun kau kurang paham maka akan dengan senang hati aku menceritakannya untukmu. Dan yang kumaksud itu bahwa: Kau sangat beruntung Lastri. Sangat beruntung. Setidaknya kau jauh lebih beruntung dari para selebritis yang berlaga  di televisi. Kau masih sangat beruntung karena kau tidak menghadapi apa yang mereka hadapi. Kau lebih terhormat di mata kami daripada mereka, para selebritis itu. Yang harus menelan ludah pahit. Yang harus beradu mulut dan mungkin juga beradu nasib jika mereka akhirnya diseret ke meja hijau oleh mereka yang mengaku dari organisasi pembela agama. Dan kau tahu itu. Mereka rela berpanas-panasan, berteriak-teriak, menceramahi para selebritis yang bergoyang di televisi demi mendapatkan segepok uang. Alasan agama kata mereka.
            Lagi-lagi kau masih sangat beruntung Sulastri. Hanya sepasang  mataku dan beberapa pasang dari mata mereka yang melihat kepolosanmu. Coba kau bayangkan dengan pikiranmu yang jernih dan juga kekuatan nyalimu yang tinggi sekalipun. Seandainya dirimu adalah seorang selebritis. Mungkin kau tak sebebas dirimu saat ini. Kau tahu seandainya ada wartawan yang dengan senang hati menguntit sepotong dua potong adegan polosmu itu. Tentu saja lagi-lagi kau harus bersyukur di sini. Karena kau bukan seorang selebritis papan atas. Kau hanyalah Sulastri yang bebas. Yang merdeka dan bisa melakukan sesukamu di sini.
            Setidaknya kau masih jauh dan masih sangat beruntung daripada para selebritis di televisi yang bahkan mereka masih menggunakan kain untuk menutupi tubuhnya pun masih sering menghadapi banyak protes. Banyak pencekalan.
            Kau tahu Lastri, andai para selebritis itu tahu apa yang sedang kau lakukan saat ini. Saat kau membiarkan tubuhmu polos di kali Srinjing sementara mataku dan juga mereka yang mengawasimu dalam jarak puluhan meter. Mungkin para selebritis itu akan mengajukan protes. Sangat mungkin terjadi, terlebih di negara demokrasi seperti negara kita. Sedikit laporan dari orang yang berduit akan cepat ditanggapi dan akan cepat diselesaikan. Sangat jelas berbeda saat ada buruh yang sepintas terlihat bergerombol membuat barisan yang mereka harus berteriak-teriak. Padahal harusnya kau atau mungkin mereka juga tahu. Hal tersebut tak mudah dilakukan. Protes tanpa segepok uang rasanya seperti melukiskan cita-cita mulia di atas air. Tentu akan sangat mudah hilang ditelan waktu. Apalagi untuk negara yang sering mengalami gejolak seperti negara kita.
            Tapi tampaknya kulihat dengan pemikiranku, kau  tak juga bergeming dengan ancaman para selebritis yang iri dengan kebebasanmu. Dan bahkan kuyakin jika mereka berani membuka mulut. Kau tak segan melontarkan jurus pamungkas, “Seorang yang berani mengkritik berarti harus berani pula memberikan solusi yang baik”. Begitu yang sering aku dengar dari mulutmu, dari sepotong pembicaraan yang kukutip saat kau bercengkerama dengan teman gadis sedesamu. Dari awal aku memang telah mengakui Lastri, kau memang seorang bidadari Srinjing yang cerdas. Kau mampu membalikkan semua sergahan yang ingin mereka lontarkan dengan sebuah jurus mematikan yang kutahu mereka pun tak seorang akan berteriak atau bahkan berbisik secara lirih sekalipun.  Jika mereka berani menyumbangkan komentar, berarti mereka harus pula menyiapkan uang yang cukup untuk sekedar membangun kamar mandi untuk orang se-desamu. Berkomentar berarti harus memberi solusi. Sebuah pemikiran yang sederhana namun sangat cerdas. Itu lebih baik daripada mereka yang sering kali terlihat menonjol dengan duduk di kursi kehormatan sembari melontarkan beberapa kalimat yang telah terangkai dengan pedas. Yang kutahu itu sangat menyentil sisi sentimentilmu. Sulastri.
            Kau selalu bangga dengan pemikiranmu itu Sulastri, bukan berarti kau tak beragama. Ini karena sebuah keterpaksaan dari sebuah keadaan yang memang belum bisa kau atasi. Sangat tidak mengenakkan jika kau dan penduduk se-desamu menerima satu atau dua kamar mandi umum yang terpisah pria dan wanita. Tentu akan lebih terasa sulit jika kau harus antri berjam-jam hanya untuk menunggu giliran mandi. Apalagi jika urusan mandi ini saja dikaitkan dengan birokrasi pelik yang tak ada habisnya. Kutahu kau tak mau hal itu terjadi di desamu.
            Kau memang selalu bilang padaku. Dan aku hanya diam tak membenarkan. Namun tak juga berani menyalahkan. Walau dalam hatiku yang paling dalam aku memikirkan bahwa apa yang kau lakukan saat ini harus segera tersudahi, Lastri. Aku diam karena seperti apa yang kau bilang. Berkomentar berarti harus berani memberi solusi. Dan kau pun juga sangat tahu aku belum bisa memberimu solusi dari masalah ini. Aku terlalu sibuk bekerja memeras keringat di sawah juraganku. Aku dan mereka memegang peranan penting untuk negeri ini. Kau tahu. Jika aku dan mereka berhenti seminggu saja untuk bermusyawarah tentang solusi dari masalahmu itu. Mungkin akan banyak orang dan mungkin juga kau yang akan kelaparan. Apalagi jika harus menggelar rapat besar-besaran dengan penduduk se-desaku. Tentu akan memerlukan lebih banyak hal yang harus kupikirkan. Banyak pendapat yang akan bermunculan, calo-calo pemberi harapan pun mungkin juga akan turut hadir. Dan bahkan masalah yang mungkin akan dihadapi pada rapat di desaku atau di tempat lainnya adalah tentang dana. Kau mungkin tak pernah memikirkan tentang pembengkakkan biaya rapat yang meresahkan bagi orang kecil seperti aku dan mereka.
            Aku masih terus memikirkan hal itu Lastri. Bahkan saat mentari telah tenggelam. Dan tentu saja aku sekarang sedang berdiam diri di rumah kecilku sembari menengguk secangkir kopi pahit untuk memberikan kehangatan di antara dinginnya malam. Tak perlu kau takut padaku karena kopi pahit yang kuminum bukan sebagai syarat untuk mendatangkan kekayaan dalam waktu singkat yang sering di isukan di televisi. Percayalah padaku Lastri. Percayalah. Aku masih cukup kuat untuk menggunakan ototku mencangkul, menanam padi dan tanaman pangan lainnya di lahan juraganku. Aku ini ksatria. Sulastri, jadi segera enyahkan jauh-jauh dari otakmu bahwa aku akan membiarkan diriku menuruti nafsu. Aku tak akan mengambil jalan pintas untuk mencapai apa yang kuinginkan. Kurasa diriku jauh lebih terhormat daripada mereka yang saat ini menangis, mereka yang berekspresi sedu sedan di balik jeruji besi karena mereka terungkap telah melakukan korupsi. Dan kurasa aku juga masih lebih tinggi kastanya dari para pengecut yang saat ini sedang bersembunyi, atau mereka yang saat ini pandai bersilat lidah membelokkan fakta-fakta hukum yang seharusnya tak untuk didustakan. Sekali lagi. Sulastri. Aku masih jauh lebih terhormat.
            Bunyi detak jam dinding usang  yang sudah pecah kacanya terus membisingkan telingaku di rumah sepi ini. Jarumnya juga tak lelah berputar, terhitung sejak dua tahun lalu ketika aku mengganti baterainya untuk kali pertama. Dan kulihat kopiku kini juga hampir habis. Tapi aku terus melamunkan sebuah solusi yang hendak kuberikan padamu agar kau tak lagi perlu menunjukkan kepolosanmu di kali Srinjing. Aku takut. Sungguh teramat takut. Jika ada wartawan usil yang meliputmu. Lalu potongan foto-foto usil wartawan yang lebih cepat menyebar di dunia maya. Tentu aku akan marah pada diriku sendiri. Kau tahu mengapa Lastri? Ini adalah masalah klasik. Masalah seorang lelaki sejati sepertiku yang tak ingin dianggap pengecut. Apalagi pecundang. Sekali lagi aku lebih terhormat dan tinggi kastanya dari para pengecut dan pecundang.
            Aku hanya ingin melindungimu Lastri. Tak lebih dari itu. Aku ingin melindungimu dari ulah para wartawan, kritikan pedas dari para pembela agama. Atau kau pun juga tahu aku akan melindungimu dari kedengkian para selebritis yang mengidolakan kebebasanmu Sulastri. Tunggulah aku. Bersabarlah. Akan segera kutemukan sebuah solusi untukmu. Untuk kepolosanmu itu.
            Waktu terus meninggalkan otakku yang penuh pemikiran dan bayang kepolosanmu. Sehari. Aku selalu memikirkan dirimu, bahkan saat aku sedang bersama kerbau juraganku. Ataupun dua hari aku selalu berambisi untuk menjaga kehormatanmu saat aku sedang bergelut dengan cangkul dan lumpur kotor. Tiga hari, empat hari, sebulan pun berlalu aku masih juga memikirkan tentang masalah klasikmu itu. Aku ini peduli padamu. Entah mengapa? Pun aku tak bisa mendustakan ada sebuah gejolak panas saat kudengar di layar televisi kembali menggemuruhkan suara para demonstran atau mungkin juga para selebritis yang khas dengan pencekalan yang semakin akrab. Kurasa.
            Hingga suatu ketika. Empat puluh hari setelah aku menyadari, setelah aku mengerti dan mulai terpikat untuk membantu menyelesaikan masalahmu. Aku termenung di belakang rumahku. Di bawah gerombolan pohon bambu yang saling bergesekkan dan menyanyikan suara yang tak lebih membisingkan dari bunyi kendaraan di kota. Hanya sebatas teman dalam pemikiran untukmu. Sebuah ide atau mungkin juga sebuah petunjuk muncul saat aku melihat beberapa karung bekas di bawah gerombolan bambu. Mungkin kau bertanya-tanya akan aku apakan karung bekas itu. Tapi jangan lantas kau berpikir aku akan menjual karung bekas itu untuk membuatkanmu kamar mandi. Karung bekas tak lebih berharga, karung bekas tak cukup bernilai untuk sekedar aku tukarkan dengan material bangunan. Aku yakin kau pun tahu hal itu.
            Segera saja tanpa menunggu banyak waktu yang terbuang . Kuambil beberapa karung bekas lalu kubelah salah satu sisinya hingga sekarang ukurannya tentu terlihat dua kali lebih besar dari yang semula. Tak lupa kuambil pula beberapa batang bambu dan kupotong menjadi beberapa bagian yang kusesuaikan dengan perhitungan cepat yang ada diotakku. Yang tentunya ini lebih hemat daripada aku harus menganalisa banyak perhitungan yang mungkin akan lebih banyak uang dan waktu yang kubutuhkan. Aku tak mau hal itu terjadi.
            Lalu dengan langkah penuh kegembiraan kuarak bambu dan karung bekas itu menuju kali Srinjing. Di tempat biasa aku menemukanmu. Aku melewati rumah-rumah tetanggaku yang menatap heran dengan apa yang akan kulakukan. Tapi tentu saja itu tak menyurutkan niatku. Bahkan dengan bangga aku memamerkan pada mereka semua, bahwa: Aku telah menemukan solusi untuk Sulastri. Dan ini yang tebaik. Aku pun berharap kau akan jauh lebih bangga padaku Lastri. Aku harap itu. Kau harusnya bersyukur dan bangga padaku lebih dari kebanggaan mereka , karena ini kulakukan untukmu. Ingat, hanya untukmu Sulastri. Bukan untuk para demonstran, selebritis, wartawan apalagi hanya untuk para pecundang, pengecut.
            Kini aku menuruni tangga tanah yang sering kau lalui. Aku tak menghitung berapa jumlah anak tangga yang berhasil kuturuni karena aku terlalu bernafsu untuk segera memberikan hadiah istimewa ini untukmu. Setelah kakiku menyentuh dasar kali Srinjing yang sedikit berpasir aku segera menancapkan beberapa bambu yang telah kupersiapkan. Yang telah kupotong lancip pada bagian bawahnya. Satu persatu bambu pun kutancapkan dan kutata berdasarkan imaginasi yang ada di otakku saat itu. Tak banyak kata dan pemikiran, hanya aku lebih banyak bertindak. Itu saja.
            Setelah semua tonggak telah berdiri maka sudah saatnya aku menyampulnya dengan karung bekas yang terbelah tadi. Tak lupa kukaitkan beberapa kawat kecil sebagai tali penguat di ujung-ujung tonggak. Dan tak berapa lama pun kini sebuah kamar mandi privat. Dan mungkin juga termewah yang ada di kali Srinjing ini dapat segera kau nikmati. Aku yakin dengan kamar mandi berkat pemikiranku beberapa hari lalu, akan menjawab semua masalah klasikmu. Kau tak perlu takut lagi pada para demonstran, wartawan ataupun juga para selebritis, yang mulai sekarang akan menutup mulutnya. Atau mungkin juga akan terilhami dengan ikut-ikutan memakai karung bekas untuk menutupi tubuhnya. Mungkin saja. Apa yang tak mungkin di negara demokrasi yang beranjak bebas seperti negara kita.
            Setelah kurasa semua telah cukup. Aku segera pergi menuju ke tempat biasa aku mandi dan menunggumu. Lama aku terduduk termenung.  Tapi hingga sinar matahari telah meredup dan awan-awan hitam berarakan kau pun tak kunjung datang. Bahkan kulihat sedari tadi ada gadis-gadis dan ibu-ibu lain yang terlebih dulu menikmati kamar mandi privat yang sebenarnya aku persembahkan hanya untukmu. Tersirat sebuah gambaran kekecewaanku waktu itu Lastri, wajahku pucat, otot-otot di lenganku pun terasa melemas. Dan setelah kuyakin kau tak juga dan tak mungkin datang karena sungai Srinjing yang mulai gelap. Aku memutuskan untuk melangkahkan kaki dengan lesu menuju rumah. Aku hanya tertunduk malu melewati barisan rumah yang tadi sempat aku pameri. Saat aku menemukan sebuah solusi untuk masalahmu.
            Sang raja pagi telah berkokok membuyarkan mimpi melihatmu di kamar mandi mewah. Hadiah untukmu. Aku segera bergegas menuju kali Srinjing. Aku memutuskan untuk cuti kerja hari ini. Hanya ingin melihatmu tersenyum saat berada dalam kamar mandi kali Srinjing. Ada sebuah kekuatan batin atau bisa juga intuisi yang mendorong kuat ragaku untuk menunggumu di sini. Kicauan burung-burung kecil dan bunyi air yang mengalir terus menemaniku melewati waktu di kali Srinjing. Tapi kau tak juga datang, hanya gadis-gadis dan ibu-ibu yang kemarin kulihat. Kini semakin bersemangat dan semakin menunjukan senyum merekahnya, karena mereka mendapatkan kamar mandi. Yang harusnya itu kau miliki, kau gunakan. Sulastri.
            Sehari, dua hari, seminggu, sebulan pun kian berlalu. Kau tak juga menampakkan batang hidungmu. Hatiku resah. Kembali bergejolak liar, ada apa gerangan? Pikirku semakin kacau. Kau tahu itu Sulastri? Itu karena kabar burung yang kudengar tentang dirimu. Kata mereka: Kau tak lagi tinggal di desa seberang, kau pindah ke kota. Mencari uang. Aku tak habis pikir, ternyata kau sama saja dengan para selebritis itu Lastri. Kau sungguh tega padaku. Padahal aku telah berbaik hati memberimu solusi dari masalah yang kau hadapi. Tapi justru sekarang kau malah pergi meninggalkanku tanpa kabar sedikitpun. Tak tahu siapa yang harus kusalahkan. Mungkin juga aku sendiri. Ya ini memang salahku. Karena aku tak mengumumkan padamu bahwa aku memiliki rancangan untuk memecahkan masalahmu itu Sulastri. Ini benar-benar kebodohanku.
            Sulastri, aku merindukanmu. Aku merindukan senyummu di kali Srinjing ini. Cepatlah pulang. Di sini telah kupersembahkan kamar mandi privat terbaik yang pernah ada di kali Srinjing. Hanya untukmu Sulastri. Bukan untuk yang lain. Cepatlah pulang, jangan paksa otakku berpikir macam-macam tentangmu. Jangan paksa otakku untuk mempercayai bahwa kau tengah asyik tidur di kamar mandi bernilai milyaran rupiah milik pejabat di kota, Sulastri. Kuharap kau tak tergiur dengannya. Semoga saja benar. Dan kau lekas kembali.
Di pinggir kali Srinjing aku akan selalu menunggu kehadiranmu.
Pemerhatimu, Darto.
           
Candra Irawan , hobi menulis puisi, cerpen dan bermain teater. Lahir dan besar di Kediri. Fb: Irawanc72@yahoo.com  dan Email candrairawan72@gmail.com .